PURBALINGGA – Pola motivasi wisatawan mulai bergeser dari wisata massal (mass tourism) ke wisata alternatif (alternative tourism). Pola wisata alternatif digambarkan dengan kunjungan ke daya tarik wisata baru yang unik, dengan nuansa alam dan terdapat budaya setempat. Pada wisata alternatif, wisatawan mendapat pengalaman baru yang tidak bisa dijumpai pada wisata massal. Pola ini mulai terlihat dengan menurunnya jumlah kunjungan wisata ke lokasi wisata populer di beberapa kota di Indonesia pada libur lebaran lalu.

”Wisata alternatif lebih fokus pada spirit konservasi alam, pemberdayaan masyarakat lokal dan pengembangan fasilitas wisata dalam skala kecil,” kata Pengelola desa wisata Pentingsari, Sleman, Yogyakarta, Doto Yogantoro pada acara Focus Group Discussion (FGD) pengembangan desa wisata di bale seni budaya Desa wisata Kedungbenda, Kecamatan kemangkon, Purbalingga, kemarin. FGD yang diselenggarakan Bappeda bekerjasama dengan Dinbudparpora Purbalingga diikuti para pelaku desa wisata, fasilitator pendamping desa wisata, para kepala desa lokasi desa wisata dan camat lokasi desa wisata.

Doto mengatakan, wisata massal biasanya orientasinnya wisatawan melihat banyak tempat dengan motivasi bersenang-senang. Masyarakat dan budaya hanya sebagai tontonan, dan pengembangan fasilitas wisata yang ada pada skala besar. “Pada wisata massal, wisatawan cenderung mengunjungi daya tarik wisata yang sudah populer. Sementara, pada wisata alternatif, wisatawan menginginkan pengalaman baru yang tidak dijumpai pada wisata massal,” kata Doto Yogantoro yang dipercaya sebagai konsultan pengembangan desa wisata di sejumlah provinsi dan kementerian.

Doto menegaskan, pengembangan desa wisata yang gencar dilakukan oleh Pemkab Purbalingga merupakan strategi yang tepat dalam pengembangan wisata alternatif. Konsep desa wisata menjadi hal yang tepat yang bisa mengembangkan potensi desa dan sekaligus memberdayaan masyarakat.

“Strategi pengembangan desa wisata sangat menarik, bahkan tiga kementrian ikut ambil bagian dalam pengembangan desa wisata. Kementrian itu yakni Kementerian Pariwisata dengan konsep wisata perdesaan, kemudian Kementrian Koperasi dan UKM dengan konsep desa wisata hijau, dan Kementerian Desa Tertinggal dengan konsep pemberdayaan nmasyarakat desa wisata. Semua konsep itu mengarah pada pengembangan desa wisata,” kata Doto.

Doto mengatakan, konsep wisata desa dan desa wisata harus dipahami secara jelas.

Wisata Desa merupakan bentuk kegiatan wisata yang membawa wisatawan pada pengalaman untuk melihat dan mengapresiasi keunikan kehidupan dan tradisi masyarakat di pedesaan dengan segala potensinya. Sedang desa wisata merupakan suatu wilayah dengan luasan tertentu dan memiliki potensi keunikan daya tarik wisata yang khas dengan komunitas masyarakatnya yang mampu menciptakan perpaduan berbagai daya tarik wisata dan fasilitas pendukungnya untuk menarik kunjungan wisatawan, termasuk didalamnya kampung wisata karena keberadaannya di daerah kota.

Doto mengakui, untuk membangun sebuah desa wisata memang penuh tantangan yang berat. Tantangan justru kebanyakan berasal dari masyarakat di desa itu sendiri. Doto menceritakan pengalamannya mengelola Desa wisata Pentingsari yang saat ini omsetnya sudah mencapai Rp 2,4 miliyar dalam satu tahun. Konflik di desa wisata biasanya setelah muncul setelah mulai ada pemasukan uang. “Selain itu, ada masyarakat yang merasa pintar, tapi kepintarannya itu tidak untuk mengembangkan bersama desa wisata, tetapi justru malah menganggu dan mencibir. Dalam mengembangkan desa wisata, tidak perlu orang pinter dan keminter, tetapi orang yang mau bekerja keras dan terbuka,” tegas Doto.

Doto menilai,, perkembangan desa wisata di Purbalingga sudah cukup bagus, jika dibandingkan di Kabupaten Sleman. Perkembangan desa wisata di Sleman sudah stagnan, drai 130-an desa wisata hanya 30 persennya saja yang bertahan. Konflik biasanya muncul setelah pembagian pendapatan tidak transparan, dan masyarakat tidak terkena dampak langsung atas kunjungan wisata ke desa. Doto mencontohkan, konflik di pengelolaan Goa Pindul sudah mulai terbuka, lorong goa yang hanya berjarak 300 meter, sekarang sudah diperebutkan oleh 10 operator. “Pengalaman ini harus diambil hikmahnya bagi desa-desa yang wisata yang mulai berkembang seperti di Purbalingga,” katanya.

Doto menambahkan, pihaknya mengapresiasi langkah Pemkab Purbalingga yang antar SKPD (Satuan kerja Perangkat Daerah) bisa bekerjasama dengan baik mengembangkan desa wisata. Seperti yang dilakukan pada FGD, antara Bappeda dan Dinbudparpora (Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga), bisa duduk bersama membahas persoalan pengembangan desa wisata dan sekaligus solusinya.

“Saya juga mengapresiasi atas ide-ide Pemkab yang mengawal pengembangan desa wisata dengan memberikan bantuan keuanbgan khusus dan menempatkan tenaga fasilitator pendamping desa wisata. Ini baru ada di Purbalingga, dan akan kami sampaikan pada forum pertemuan desa wisata nasional dan forum konsultasi yang mengundang kami,,” ujar Doto. (y)